Menentukan Sikap
Tepat tiga pekan setelah kesepakatan kita, kekuatanku runtuh, seolah aku belum mampu terbiasa tanpa kehadiran pesan singkat darimu.
Menyapamu sebentar dan bertanya perihal kabar, syukur Alhamdulillah kau sampaikan bahwa kau dalam keadaan baik.
Ada pesan yang menyentil pemikiranku malam itu, bahwa kau tak terlalu berkenan membalas pesanku secara berlebiha. Entahlah, apakah maksud dari ini? Aku tak terlalu mahir membaca kalimatmu. Apa kau sedang berusaha menjauhi aku, atau itu adalah tindakan yang telah kita sepakati, bahwa kita akan menjaga jarak, sebentar saja. Sebab katamu, ketika segala urusan sudah selesai, kau akan segera menemuiku.
Banyak hal yang kemudian berkerumun di kepalaku, tentang bagaimana mestinya aku menyikapi hal ini.
Apakah aku perlu mundur saja, berusaha ikhlas dan sabar dengan keadaan ini, atau mungkin menyadari bahwa diri terlalu terburu-buru untuk menuntut kebersamaan lagi? Ah tapi rasanya bukan alasan kedua,
Akhirnya, kuputuskan membuat satu alasan lain. Yaitu, aku akan menerima saja dulu situasi ini, sembari mengajarkan pada diri perihal bersabar, ikhlas dan tawakal. Perihal penghidupan dan harapan selanjutnya, akan kuserahkan kepada Allah swt tentunya. Bukankah kita hanya perlu yakin, berdoa, dan berusaha? Perkara hasil, kita serahkan. Yakin bahwa Allah akan menjawab doa kita dengan rencana yang sebaik-baiknya.
Komentar
Posting Komentar