Menikah?

Isu perihal pernikahan seperti rubrik berita dalam sebuah koran, menjadi hal pokok yang disoroti, demikian pula bagi perempuan seusiaku.
Usiaku baru menginjak 22 tahun, sepakat dengan pendapat saudaraku yang mengatakan usiaku masih terlalu muda untuk menikah. Terlebih sekarang tagar menikah muda sudah mulai tergeser dengan tagar menikah dewasa, yang berarti menikah dalam keadaan yang siap baik usia, pola pikir, mental dan finansial.
Menikah bukan perkara sederhana, namun bukan berarti juga menjadi perkara sulit, tergantung dari sudut mana kita melihat itu. Seperti tulisan yang kubaca dari blog seorang teman yang menyatakan bahwa menikah bukan perkara siap, melainkan perkara keberanian, sebab jika kesiapan menjadi tolok ukur seseorang untuk menikah maka akan selalu ada alasan untuk berkata tidak siap.
Aku sepakat, karena ketika kesiapan menjadi sebuah alasan terlebih jika berbicara mengenai persiapan mental dan finansial, maka pada usia berapa kita mampu untuk menikah? Mungkin di usia 30 tahunan. Aku pikir, itu terlalu tua untuk usia menikah perempuan.
Sedari dulu aku termasuk perempuan yang ingin menikah di usia yang tidak terlalu matang, karena ingin juga menikmati masa pacaran dengan suami, juga tidak mau ketika anak-anakku beranjak remaja aku sudah tidak sepaham lagi dengan perkembangan zaman mereka.
Kembali lagi pada kesiapan menikah, jika dilihat secara ilmu mungkin aku dapat dikatakan belum siap, karena aku baru mulai mempelajari ilmu tentang pernikahan beberapa bulan belakangan.
Namun jika dilihat secara mental, emosi, kemampuan jasmani, inshaAllah aku sudah siap. Mengapa demikian? Karena aku merasa, perihal jasmani tentu di usia ini aku sudah siap jika memang harus  .. dan mengandung (aku anggap kalian mengerti), secara emosi dan mental, aku tipe seorang yang penurut (menurutku) karena aku cenderung tidak mau membantah orang-orang yang aku hormati dan sayangi, sebelum ini mungkin yang dimaksud adalah orang tuaku, dan ketika menikah kepatuhanku akan beralih pada suamiku. Tentunya, aku mengerti hukumnya bagaimana kepatuhan seorang istri pada suami, jadi aku rasa hal ini tidak terlalu membuat aku risau. Masalah pekerjaan domestik seorang istri sedikit banyak sudah aku kuasai, misalnya membersihkan rumah, mencuci, memasak masakan sederhana, dan melayani seorang suami (poin terakhir hanya masih angan-angan yang diketahui dari beberapa buku yang kubaca).
Wah kalau dijabarkan benar ya, menikah itu bukan suatu hal yang sederhana. Namun ingat, bukan hal yang sulit juga ketika suami istri mau sama-sama berusaha menyamakan visi dan misinya.
Mengingat studiku yang hampir selesai, sepertinya aku juga perlu mengambil keputusan kapan aku akan menikah, tentu tidak mudah.
0Daripada aku terlalu memusingkan hal-hal yang sudah jelas terjamin oleh sang Pencipta, aku lebih berserah saja, aku hanya perlu mempersiapkan diri. Kapanpun, jika memang sudah ditakdirkan inshaAllah aku siap.
Ketika tujuan menikah sudah berorientasi pada Jannah, atau kampung akhirat tak ada resah ataupun susah, betapa tidak?
Taukah kaliah, seorang istri hanya perlu melaksanakan salat wajib 5 waktu tanpa sunah, puasa ramadha tanpa sunah, dan patuh pada suaminya pada hal yang ma'ruf itu sudah cukup membuatnya bisa memasuki delapan pintu surga manapun yang ia inginkan. MasyaAllah, tidakkan itu menjadi motivasi terbesar seorang perempuan untuk menikah? Tentu juga alasan lain yang mendukung, misalnya menyempurnakan separuh agama, ada yang membimbing dalam beribadah, ada yang menjaga harga dirinya, dan banyak manfaat lain.
Jika melihat hal di atas, rasanya aku tidak pernah segan untuk menikah saat ini juga 😅 tapi tidak sebercanda itu juga.
Ingat ya shalihah, hal-hal diatas hanya akan berjalan baik jika yang kau nikahi juga memahami hal agama, maka dari itu penting untuk mencari calon suami yang juga memahami ilmu-ilmu berumah tangga.
Sembari memperbaiki dan mempersiapkan diri, tak ada salahnya kita juga memilah seorang-seorang yang datang menghampiri, demi mewujudkan cita-cita kita mencapai surga.

Komentar

Postingan Populer